PENDIDIKAN
BUDI PEKERTI UPAYA MENDIDIK MANUSIA SEUTUHNYA
Dalam bahasan berikut
akan diuraikan pokok-pokok pikiran dari Yulianingsih dan Ismantoro dalam
Suplemen Republika, hari Sabtu 11 Mei 2002 yang selengkapnya menyatakan sebagai
berikut :
Bagi para siswa di
sekolah formal pada umumnya, tiada saat paling membahagiakan kecuali
terdengarnya dentang bunyi bel sekolah. Mereka menyambut tanda berakhirnya jam
sekolah dengan penuh suka cita. Mereka merasa terbebas dari himpitan empat
dinding tembok kelas dan sesaknya bangku kelas yang membelenggu dan memasung
mereka selama 6 jam lebih.
Fenomena sekolah tak
ubahnya penjara bagi mereka yang memegang monopoli transfer ilmu pengetahuan.
Sekolah seolah-olah menjadi satu-satunya tempat belajar. Guru yang berada di depan
ruang kelas mendominasi peserta didik. Siswa-siswa yang tak merdeka itu dengan
proses pendidikan yang otoriter dan tidak menjamin kebebasan semacam itu, bakal
terbentuk hanya sekadar sebagai sekrup mekanisme.
Kondisi dan realitas di
atas, tentunya bertolak belakang dengan konsep pendidikan yang dikembangkan Ki
Hajar Dewantara ( Bapak Pendidikan Nasional Indonesia ). Perguruan Taman Siswa
yang didirikannya mengantar siswa untuk mengenal rasa kemerdekaan terhadap
apapun. Benih kemerdekaan terus dikobarkan dalam jiwa anak didik melalui mata
pelajaran yang diajarkan dalam perguruan tersebut.
Kalau dulu benih
kemerdekaan untuk terbebas dari belenggu penjajahan maka saat ini benih
kemerdekaan ditanamkan agar siswa menjadi anak yang mandiri dan bisa menentukan
sikap. Konsep kemerdekaan dalam setiap diri anak didik menurut Ki Buntarsono
diberikan sesuai dengan situasi dan kondisi terakhir. Dalam ketamansiswaan,
kurikulum pendidikan Taman Siswa tentang ajaran hidup Ki Hajar Dewantara,
konsep itu diberikan sesuai dengan system, bentuk, isi, dan irama atau
disingkat SBI.
Ketamansiswaan
merupakan kekhususan pendidikan di lingkungan Taman Siswa. Kekhususan
pendidikan itu ditetapkan dalam konggres XII Persatuan Taman Siswa pada tahun
1976, karena sejak tahun ajaran 1976-1977 Perguruan Taman Siswa sepenuhnya
menggunakan kurikulum negeri. Jadi Taman Siswa melaksanakan sepenuhnya
ketentuan system pendidikan nasional dengan tetap mengamalkan dan mengembangkan
ajaran Ki Hajar Dewantara.
Konsep Ki Hajar
Dewantara ( 1930 ) tentang pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
tumbuhnya budi pekerti ( kekuatan batin dan karakter ),pikiran (intelek), dan
tubuh anak. Dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisahkan dari
bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan
dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
Konsep tersebut
menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan sebagai suatu proses
yang dinamis dan berkesinambungan. Di sini tersirat pula wawasan kemajuan,
karena sebagai suatu proses pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan
tuntutan kemajuan zaman.Keseimbangan unsure cipta, rasa, dan karsa yang tidak
dapat dipisah-pisahkanpun memperlihatkan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak
memandang pendidikan hanya sebagai proses penularan atau transfer ilmu
pengetahuan belaka. Secara simultan menurutnya pendidikan juga merupakan proses
penularan nilai dan norma serta penularan keahlian dan ketrampilan.
Setiap anak sejak lahir
telah dikaruniai berbagai potensi kodrati yang masih harus dikembangkan
sepanjang hayat. Anak memiliki jiwa dan raga yang meliputi unsure cipta, rasa,
dan karsa, serta nilai-nilai moralitas dan religiusitas. Semua harus
dikembangkan secara bersamaan dan terpadu, tidak terpisahkan satu sama lainnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Taman Siswa mendidik anak didik seutuhnya.
Sebagai perwujudan
konsep yang menempatkan anak sebagai sentral atau pusat proses pendidikan maka
Ki Hajar Dewantara memperkenalkan Sistem Among. Sistem ini menerapkan asas
kekeluargaan yang berintikan kasih saying dan cinta kasih. Seorang guru atau
pamong diharapkan menjalin hubungan dengan siswanya atau among, seperti
hubungan anak dengan orang tuanya. Dengan system ini, seorang pamong atau guru
diharapkan bisa memberikan bimbingan secara intensif, dimana anak didik tidak
diberikan tekanan untuk melakukan sesuatu, tetapi justru diberikan kemerdekaan
sepenuhnya.
Dalam pelaksanaan
system among ini dikenal dengan Tutwuri Handayani, disini siswa akan diberikan
kemerdekaan untuk mengerjakan sesuatu dan berfikir positif. Dalam hal ini
seorang pamong dituntut untuk memberikan bimbingan dan tuntunan saat anak didik
melakukan hal yang negative dan merugikan dirinya maupun orang lain. Selain
system among yang tidak terbatas di lingkungan sekolah saja, Ki Hajar pun
mengajarkan bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan atau tripusat
pendidikan yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat serta gerakan pemuda.
Pendidikan dalam
lingkungan keluarga berlangsung pendidikan informal tentang agama, budi
pekerti, dan dasar-dasar hidup kemasyarakatan. Pendidikan formal diperoleh
disekolah dibawah pimpinan guru mengenai berbagai ilmu pengetahuan. Sedangkan
lingkungan masyarakat dikenal sebagai ajang pendidikan nonformal, merupakan
tempat anak didik berlatih berbagai keterampilan dan memperluas hidup
kemasyarakatan.
Sebagai konsekuensi
dari tripusat pendidikan itu adalah teladan bagi anak didik tidak terbatas pada
kalangan pendidik saja. Kedua orang tua, tokoh masyarakat, pemimpin masyarakat,
maupun pemimpin bangsapun jadi panutan. Semua itu akan menjadi tolok ukur
keberhasilan penerapan system among terhadap generasi penerus atau anak didik
kita. Jikalau pemimpin dan tokoh masyarakatnya atau orang tuanya tidak bisa
menjadi teladan atau panutan yang baik, maka secara otomatis anak didik yang
sekaligus sebagai generasi penerus menjadi generasi muda yang susah untuk
diperbaiki.
Menurut Ki Buntarsono
dalam Yulianingsih (2002), pendidikan seharusnya diarahkan agar tidak hanya
mengejar intelektual saja. Akan tetapi moral anak didiknya juga harus
diperkuat. Jika yang dikejar hanya intelektualnya saja maka dinamakan
pengajaran, tetapi jika yang dikejar intelektual dan moralnya maka hal itu bisa
dikatakan sebagai pendidikan.
Pembentukan moral
adalah tugas pengajaran budi pekerti, menurut Ki Hajar Dewantara, pengajaran
budi pekerti tidak lain adalah mendukung perkembangan hidup anak-anak, lahir
dan batin dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang
umum. Pengajaran ini berlangsung sejak anak-anak hingga dewasa dengan
memerhatikan tingkatan perkembangan jiwanya.
Sebagai bahan
perbandingan, Ki Hajar Dewantara menunjuk tradisi pendidikan islam yang
bermetodekan syariat, hakikat, tarikat, dan makrifat. Pengajaran syariat,
misalnya diterapkan pada anak-anak kecil untuk membiasakan mereka bertingkah
laku dan berbuat menurut peraturan dan kebiasaan umum. Si pamong memberi contoh,
anjuran, atau perintah untuk melakukan sesuatu. Keterangan rinci tidak perlu
diberikan karena si anak belum mampu menalar.
Sedangkan dalam metode
makrifat, anak didik yang sudah dewasa harus sudah mengerti adanya hubungan
antara tata tertib lahir dan kedamaian batin.Mereka sudah cukup berlatih dan
menguasai dirinya sendiri serta menempatkannya dalam garis-garis syariat dan
hakikat.
Mereka boleh dianggap
sudah faham terhadap segala keinginan dan kemungkinan dan jika mereka masih
salah pilih, setidak-tidaknya mereka sudah dapat berfikir dan bertanggungjawab
sehingga mereka tidak terombang-ambing oleh pertentangan atau konflik batin
yang akan terjadi di dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya.
PENGAJARAN
BUDI PEKERTI VERSI KI HAJAR DEWANTARA
1.
Maksud dan Tujuan
Buku
beliau yang berjudul Karya Ki Hajar
Dewantara bagian pertama pendidikan (1977: 484-491). Dalam karangan berikut
bukanlah maksud saya (Ki Hajar) untuk memberi uraian tentang masalah ”budi
pekerti” sebagai persoalan umum. Bukan pula menelaah tentang hubungan yang ada
antara budi pekerti dan pendidikan. Saya (Ki Hajar) hanya mengutarakan sekadar
nasihat yang bertali dengan pengajaran (bukan pendidikan) budi pekerti,
khususnya tentang isi serta caranya melaksanakan.(Pengajaran hanyalah sebagian
dari pendidikan dan berarti pemberian pengertian serta kecakapan ataupun
latihan kepandaian).
Hendaknya
tulisan saya (Ki Hajar) ini dianggap sebagai penerangan umum tentang
pokok-pokoknya (metodik). Hal ini saya anggap perlu, berhubung dengan kerapkali
adanya pertanyaan dan pernyataan dari pihak pamong kita mengenai pengajaran
tersebut. Diantaranya terdengar ucapan seperti apakah sebenarnya budi pekerti itu dan bukankah pengajaran budi pekerti
itu paling rendahnya baru dapat diberikan di bagian Taman Dewasa?Atau apakah
isinya pengajaran budi pekerti dan bagaimanakah cara kita memberikannya? Sementara
itu, ada pihak lain yang menyatakan bahwa
: sebetulnya hanya pamong yang sudah tua yang dapat memberikan pengajaran
tersebut.Ada juga suatu pernyataan yang agak ”teknis-metodis” yaitu bahwa :
pengajaran budi pekerti itu sebaiknya diberikan secara spontan atau
occupasional oleh sekalian pamong, baik ilmu pasti, menggambar, dan lain
sebagainya. Memang tiap-tiap pamong keluaran Taman Guru kita atau sekolah guru
lainnya, juga mereka yang sudah tamat SMA ataupun mereka yang berpendidikan
luas dan dalam, sudah selayaknya dianggap dapat memberi “pengajaran kebaikan”
itu.
Menurut
pendapat saya (Ki Hajar) pertanyaan dan pertanyaan tadi membuktikan adanya
kesalahpahaman. Dikiranya bahwa pengajaran budi pekerti mengandung arti :
pemberian kuliah atau ceramah tentang hidup kejiwaan atau keadaban manusia.
Atau sebuah keharusan memberi keterangan dan penjelasan budi pekerti secara
luas dan mendalam.Mungkin ada yang mengira bahwa untuk itu si pengajar haruslah
seorang yang berpengetahuan dan berpengalaman paling sedikit harus seorang yang
suci hidupnya, lahir dan batin. Guru diartikan sebagai orang yang harus digugu
dan ditiru. Segala dugaan itu adalah tidak benar atau boleh dikatakan sangkaan
yang melebihi batas kemungkinan dan keinginan. Oleh karena itu hendaknya
diinsafi bahwa pengajaran budi pekerti tidak lain artinya daripada mendukung
perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju kea
rah peradaban dalam sifatnya yang umum. Menganjurkan dan kalau perlu
memerintahkan anak-anak untuk duduk yang baik dan manis, jangan
berteriak-teriak agar tidak menganggu anak-anak lain, bersih badan dan
pakaiannya, hormat terhadap ibu-bapak dan orang tua lainnya, menolong teman
yang perlu ditolong,demikian seterusnya.Itu semua sudah merupakan pengajaran
budi pekerti. Terhadap anak-anak kecil cukuplah kita membiasakan mereka untuk
bertingkah laku yang baik, sedangkan bagi anak-anak yang sudah dapat berfikir,
seyogyanya diberikan anjuran untuk melakukan berbagai tingkah laku yang baik
dengan cara disengaja. Dengan begitu, syarat pendidikan budi pekerti yang dulu
biasa saya (Ki Hajar) sebut metode ngreti-ngrasa-nglakoni
(menyadari, menginsafi, dan melakukan) dapat terpenuhi.
Itulah
maksud dan tujuan pemberian pengajaran budi pekerti, dihubungkan dengan
tingkatan perkembangan jiwa yang ada didalam hidup anak-anak, mulai kecilnya
sampai masa dewasanya. Untuk perbandingan ada baiknya kita memerhatikan tradisi
pendidikan keagamaan (islam) yang sudah ada pada zaman dulu dan terkenal dengan
metode syari’at, hakikat, tarikat, dan
makrifat.
2.
Tingkatan Psikologis-Metodis
Pengajaran
syariat diberikan untuk anak-anak kecil dan harus diartikan sebagai pembiasaan
bertingkah laku serta berbuat menurut peraturan atau kebiasaan yang umum. Si
pamong member contoh, anjuran, atau perintah sehingga anak-anak melakukan apa
yang diinstruksikan oleh gurunya. Keterangan atau penjelasan belum waktunya
diberikan karena anak-anak belum mempunyai kesanggupan untuk berfikir. Kalau
ada yang bertanya, boleh juga sip among memberi jawaban asalkan secara singkat
dan sambil lalu dan dengan cara atau metode yang dapat diterima oleh si
murid.Dikarenakan anak-anak harus membiasakan segala apa yang baik, maka sip
among perlu selalu menegur apabila anak-anak berbuat sesuatu yang tidak
senonoh. Akan tetapi janganlah lupa akan kodratnya anak-anak, teristimewa akan
spontanitet-nya.Berbuat secara spontan,yakni secara tiba-tiba (tidak diniatkan
terlebih dahulu) sebagai gejala kejiwaan mempunyai arti yang istimewa,karenanya
hal itu amat dipentingkan oleh Montessori.
Adapun
tingkatan yang kedua adalah tingkatan hakikat yang berarti kenyataan atau
kebenaran dan yang mengandung maksud member pengertian kepada anak-anak,agar
mereka menjadi insaf serta sadar tentang segala kebajikan atau kebaikan dan
kebalikannya.Pengajaran hakikat dipakai untuk anak-anak pada masa akil balig
yakni waktu berkembangnya akal atau kekuatannya berfikir.Ingatlah saya disini
akan mengungkapkan suatu ajaran yang senantiasa saya pakai sebagai pegangan,
yaitu bahwa syariat tanpa hakikat adalah
kosong, sedangkan hakikat tanpa syariat adalah batal!
Tingkatan
yang ketiga dalam system pemberian pengajaran menurut tradisi pendidikan agama
islam yang dapat kita pakai dengan perubahan seperlunya adalah tingkatan tarikat yang lebih terkenal dengan
sebutan tirakat. Tarikat berarti laku,yakni perbuatan yang dengan sengaja kita
lakukan dengan maksud agar anak melatih diri untuk melaksanakan berbagai
kebaikan, bagaimanapun sukarnya atau beratnya.Inilah latihan bagi anak-anak
yang mulai dewasa.
3.
Laku dan Isi Pengajaran
Berikut
saya (Ki Hajar) sajikan secara garis besar rencana pengajaran budi pekerti :
a. Taman
Indria dan Taman anak (5-8 tahun)
Segala pengajaran berupa kebiasaan
semata yang bersifat global dan spontan atau occasional, yakni belum berupa
teori yang terbagi menurut jenisnya (kebaikan dan keburukan) belum pula
diberikan menurut rencana atau waktu yang tertentu dan tersendiri. Tiap kondisi
yang bersifat psikologis misalnya berhubungan dengan tingkah laku
anak-anak,yaitu pada tiap peristiwa yang kiranya dapat menarik perhatian
mereka, hendaknya sip among melakukan koreksi yang perlu.
b. Taman
Muda (9-12 tahun)
Dalam periode hakikat ini, hendaknya
anak-anak diberi pengertian tentang segala tingkah laku yang mengarah pada
kebaikan dalam hidupnya sehari-hari.Meskipun caranya masih occasional atau
spontan namun dikelas yang tertinggi dapat disediakan waktu tertentu karena
mereka tidak cukup dengan hanya membiasakan apa yang dianjurkan atau
diperintahkan oleh orang tua dan sekelilingnya.
c. Taman
Dewasa (14-16 tahun)
Inilah periode atau waktunya anak-anak
disamping meneruskan pencarian, dan pengertian juga mulai melatih diri terhadap
segala laku yang sukar dan berat dengan niat disengaja. Dalam lingkungan
kebatinan, seperti telah diterangkan sebelumnya, pendidikan tarikat diwujudkan
dengan bersemadi, berpuasa, berjalan kaki ke tempat-tempat yang jauh yang
dianggap suci dan keramat.Pada umumnya segala laku yang disengaja, yang
memerlukan kekuatan kehendak dan kegiatan tenaga yang istimewa dapat dianggap
sebagai bentuk pengajaran budi pekerti bagi anak-anak di Taman Dewasa.
d. Taman
Madya dan Taman Guru (17-20 tahun)
Inilah waktunya anak-anak memasuki
periode makrifat yang berarti bahwa mereka ada pada tingkatan kepahaman yakni
biasa melakukan kebaikan, menginsafi, serta menyadari akan maksud dan
tujuannya, dimana perlu melaksanakan perilaku yang berat. Pengajaran budi
pekerti yang harus diberikan pada mereka ialah berupa ilmu atau pengetahuan
yang cukup dalam dan luas.
Pada periode ini anak-anak perlu
mendapat pengajaran tentang Pancasila, segala masalah yang berhubungan dengan
dasar dan asas ketamansiswaan pada umumnya,yaitu Panca Dharma. Sebagai
pengajarnya hendaklah dipilih seorang pamong atau guru yang mengajarkan bahasa
atau sejarah ataupun ilmu pendidikan dan psikologi.
Untuk Taman Madya dan Taman Guru,
pengajaran budi pekerti perlu dimasukkan ke dalam daftar pelajaran yang
diberikan pada waktu-waktu tertentu. Pengajaran dapat dilakukan melalui
ceramah, dan jika mungkin dari orang-orang yang ahli dalam hal peri keadaban
hidup manusia, dengan tidak membeda-bedakan aliran agama atau keyakinan hidup.
4.
Sumber Bahan Pelajaran
Setelah
mengetahui tentang pokok isi pengajaran budi pekerti, yaitu segala yang
mengandung maksud memelihara keinsafan dan kesadaran dalam hidup
tertib,damai,bagi dirinya dan masyarakat dalam batas-batas Panca Dharma.Dalam
lingkungan ketamansiswaan, kini ada niat yang telah direncanakan oleh Majlis
Luhur untuk mengumpulkan berbagai karangan mengenai dasar dan asas hidup yang
sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam Panca Dharma,baik yang pernah
dimuat di Pusara maupun karangan baru, agar memudahkan dalam pencarian bahan
pendidikan budi pekerti pada umumnya dan khususnya untuk benih-benih
ketamansiswaan dalam jiwa anak didik kita.
KIPRAH TAMAN SISWA DALAM MEMBANGUN
BUDI PEKERTI BERBASIS RELIGIUSITAS
Eksistensi
dan inti dari pendidikan di Taman Siswa sebenarnya adalah sebuah lembaga
pendidikan yang tetap mempertahankan kebudayaan dan juga social untuk
kemerdekaan anak bangsa. Jadi,dengan pendidikan tersebut diusahakan agar
sebanyak mungkin anak bisa sekolah dan mempunyai jiwa merdeka.Oleh karena itu,
pendidikan di Taman Siswa didasarkan atas prinsip atau slogan Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun
karso, tutwuri handayani,akan membiarkan anak kecil tumbuh sesuai dengan
usia pertumbuhannya namun tetap didampingi.
Misi
dari Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan intinya adalah dengan sarana
pendidikan yang ada di Taman Siswa akan mengenalkan kebudayaan, social, dan
lain sebagainya kepada anak didik bukan hanya ilmu pengetahuan saja.Perbedaan
yang mendasar adalah jika pendidikan Belanda mengarahkan anak didiknya agar
setelah lulus menjadi slave (budak) atau antek-anteknya Belanda, yaitu menjadi
Pegawai pada pemerintah Belanda. Sedangkan Ki Hajar dengan membuka Taman Siswa
beliau menyebar benih untuk memberikan jiwa kemerdekaan pada rakyat Indonesia
yang putra-putrinya disekolahkan di Taman Siswa. Resiko dan konsekuensi yang
ditanggung cukup berat, termasuk ketika Ki Hajar Dewantara harus berhadapan
langsung dengan pemerintah Belanda.
Pendidikan
yang digunakan Taman Siswa untuk mewujudkan cita-citanya dengan berdasar pada
pengenalan pendidikan budi pekerti kepada anak didik di semua mata pelajaran di
sekolah sehingga anak bisa menjadi manusia yang luhur, dan berguna untuk
masyarakat.Jadi, dalam pendidikan yang terpenting bukan masalah kecerdasan
saja, tetapi justru humaniora atau budi pekertinya.Sekarang ini banyak manusia
cerdas, tetapi jika tidak dibekali dengan budi pekerti yang baik maka mereka
akan menggunakan kecerdasannya untuk merugikan orang lain. Aplikasi pendidikan
budi pekerti di Taman Siswa disatupadukan ke seluruh mata pelajaran. Pendidikan
budi pekerti ditanamkan dengan membiasakan berdoa dan memberikan salam sebelum
dan sesudah pelajaran. Pelaksanaannya dapat berjalan dengan kondusif jika para
pamong atau guru yang ada bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan
bersandarkan pada prinsip ing ngarso sung
tulodho, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani.
Sumber
: Dra. Nurul Zuriah, M. Si, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam
Perspektif Perubahan
trimakasih, sangat membantu
BalasHapus